It's Okay Not To Be A Supermom

Tulisan ini ditujukan untuk semua ibu. Baik itu ibu bekerja, ibu rumah tangga, ibu berwirausaha, atau semua ibu di luar sana.

Sebagai ibu bekerja yang berkutat di dunia media khususnya televisi, saya tentu memiliki kesibukan yang tidak biasa. Bukan ingin membandingkan pressure dari jenis pekerjaan yang saya jalani, tapi memang bekerja di dunia ini membutuhkan waktu dan perhatian yang khusus. Kadang saya harus pulang larut malam, bahkan dini hari untuk memenuhi tanggung jawab saya terhadap pekerjaan saya. Saya bisa saja mengeluh, tapi hey, keputusan untuk bekerja di dunia ini telah menjadi pilihan saya sendiri, kan? Dan sebagai perempuan dewasa, saya tentu harus bertanggung jawab pada keputusan yang saya pilih.

Anyway, saya punya dua anak. Si kakak, laki-laki yang akan berusia 9 tahun bulan Mei mendatang. Lalu si Adik, perempuan yang sangat ceriwis dan manis, yang baru berusia 2,5 tahun. Keduanya membutuhkan perlakuan dan perhatian yang berbeda. Memiliki anak yang akan memasuki dunia remaja, saya mulai dihadapkan pada kekhawatiran akan pergaulan si Kakak. Terutama yang berhubungan dengan gadget. Sebagai ibu tentu saya berusaha melek digital. Tujuannya, agar saya tidak "kalah" pintar dengan anak saya nantinya. Keputusan saya untuk tidak memberikan gadget personal pada si Kakak tentu memiliki konsekuensi pada pergaulannya dengan teman sebaya. Namun, alhamdulillah anak ini sangat pengertian. Meski, terkadang masih merengek meminta dibelikan game untuk di komputer ataupun game konsol layaknya anak seusia si Kakak. Sementara si Adik, masih harus dibimbing sangat sangat. Ia memang sudah mahir berbicara, sangat aktif, ceriwis, dan selalu ingin tahu. Tapi, memiliki seorang ibu yang hanya berada di rumah pada weekend, tentu membuat si Adik jauh lebih kolokan, dan lebih ingin diperhatikan ibunya. Beruntung saya punya support dari ibu dan pengasuh yang bisa dipercaya tentunya untuk menjaga dua buah hati saya.

Biasanya saya menganggap biasa saja pola asuh yang sudah terapkan selama ini. Namun kenapa beberapa hari ini saya kepikiran sesuatu. Terutama setelah mendengar berita kriminal tentang anak, seperti penculikan hingga pelecehan seksual pada anak. Saya lalu kepikiran, apakah putra putri saya aman? Apakah mereka di lingkungan sekitar rumah berada dengan orang-orang yang "benar"? Apakah saya harus tidak bekerja, agar saya bisa full mengawasi anak-anak di rumah?

Lalu tiba-tiba kepikiran juga, karena saya jarang berada di rumah, saya jadi merasa bersalah. Terutama pada si Kakak yang bersekolah. Saya kadang tidak sempat membuatkan sarapan berkreasi seperti layaknya ibu-ibu lain yang sering posting lunch box buat anak-anak mereka. Saya pun juga merasa bersalah pada si suami -yang meski ia adalah suami yang sangat sabar dan pengertian luar biasa-, saya jarang menyiapkan sarapan yang decent untuknya. Atau kadang lupa menyiapkan bekal makan siang untuk si suami yang memiliki perhatian khusus terutama perhatian akan makanan bagi kesehatannya.

Ada lagi yang membuat saya merasa bersalah. Kadang saya merasa tidak menyediakan kesempatan bagi si Kakak untuk berkembang dan berkreasi di luar rumah. Saya tidak seperti ibu-ibu pada umumnya yang mengantarkan anaknya les, kursus, olahraga, dan lain-lain pada hari biasa ataupun weekend. Sehingga si kakak yang seharusnya bisa berkembang lebih keren karena bakat menggambarnya, jadi terbatas karena ibunya tidak sempat mengantarkannya ke tempat les, atau tempat mengaji, dan lainnya. Tentu saya iri dengan teman-teman yang bisa menyediakan waktu mengantarkan anak-anaknya untuk mengembangkan bakatnya.

Belum lagi perasaan bersalah dari orang-orang yang menghakimi keputusan kita bekerja, atau tidak bekerja. Bahwa ibu bekerja menitipkan harta paling berharga yang dikaruniai Allah yaitu anak, pada pengasuh. Yang semakin membuat saya sebagai ibu bekerja merasa bersalah. Atau menghakimi keputusan ibu yang tidak bekerja, yang dikatakan kerjaannya hanya antar jemput anak, arisan, menghabiskan uang suami, dan lain-lain.      

Semua ditambah dengan rutinitas yang saya lihat di sosial media teman-teman. Hidup di dunia digital memang membuat kita melihat satu sisi dari seseorang. Saya kadang melihat teman posting di sosial media yang menunjukkan betapa jagonya ia memasak setiap hari (bahkan setiap saat) untuk suaminya. Atau saya kadang ingin di posisi teman saya yang suka posting di sosial media berada di tempat kursus renang, atau menari buat anak-anak mereka.

Perasaan dan pikiran semua itu bercampur aduk dengan pikiran tentang pressure pekerjaan, pikiran tentang bagaimana tugas di kantor, pikiran tentang suasana kerja bersama rekan satu kantor, atau pun pikiran tentang atasan. 

Saya merasa ternyata menjadi seorang ibu di jaman sekarang harus seperti ibu super, supermom. Semua harus serba bisa. Melelahkan tidak, sih dengan semua itu?


Lalu saya mencoba berdamai dengan diri saya sendiri. Ingat dengan pesan ibu saya yang selalu memberi nasehat "ikhlas akan semua yang Allah berikan". Artinya, saya tidak perlu selalu menjadi supermom. Menjadi supermom yang segala bisa baik dalam bekerja, memasak, mengurus anak, mengurus suami, mengurus rumah, menjadi auditor keuangan keluarga, menjadi guru privat, menjadi psikolog keluarga, dan lain-lain, memang tugas yang dijalani para ibu. 

Namun jujur saja, supermom pun butuh refreshing, butuh her time out dari semua aktivitas yang ia jalani. Supermom butuh waktu senggangnya untuk mengunjungi salon, spa, atau pijat. Supermom butuh waktu senggangnya menonton k-drama kesayangan, dan mengagumi oppa ganteng atau dedek menggemaskan. Supermom butuh mencuri waktu mengunjungi bioskop menangis di tengah temaram lampu bioskop, karena menonton adegan haru. Supermom butuh mengeluarkan emosinya dengan bernyanyi riang atau bernyanyi sekencang mungkin di dalam mobil saat perjalanan dari rumah menuju kantor atau sebaliknya. 

Percayalah moms, kita butuh membuat diri kita nyaman untuk menjadi supermom. Jangan gengsi untuk meminta bantuan dari orang terdekat, seperti suami, orangtua, ataupun saudara untuk megurangi beban yang kita tanggung. Setiap orang memiliki beban sendiri yang kita tanggung, namun tidak ada salahnya kita bercerita dan sharing dengan orang lain. Atau ini sih yang juga saya lakukan, mengadukan keluh kesah kita pada empunya alam semesta, Allah SWT.  

Dan juga yang terpenting, Sometimes, it's okay not to be a supermom. It's okay to be just a mom. 

Komentar

  1. emang rada ribet bet bet kl jd ibu bekerja eehhh wartawan..ehh suaminya jg wartawan hehehhe. kl gua biasanya mementingkan kualitas bukan kuantitas, saat libur waktu full buat anak handphone atau gadget dimatikan full.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Usaha Menaikkan Berat Badan Secara Alami

Anak Istimewanya Ibu

Dua Versi Berbeda dalam Moon Lover Scarlet Heart Ryeo Episode 10 - 11